- Standart Pelayanan
- Kerjasama Kemenag-Kemendagri
- Penghulu sebagai Pengarah Acara
- Formulir Feedback
- Mini Seri Televisi
- Atase Agama di Luar Negeri
- Penyempurnaan Sistem Administrasi Nikah (SIMKAH)
-
Pengawasan Langsung Kinerja Penghulu
Yang tak kalah pentingnya dalam hal pengawasan adalah melihat sendiri kinerja petugas dalam menangani atau menyelesaikan tugas-tugasnya di saat itu. Umumnya kita menggunakan istilah “sidak”. Manfaat yang dapat diperoleh dari sidak ini adalah dapat mengetahui kualitas kinerja terkini secara langsung berdasarkan pandangan mata. Ini juga berfungsi sebagai terapi kejut untuk menjaga kesadaran bahwa dia sedang diawasi. Selain itu, ini juga dapat digunakan sebagai instrumen pembinaan secara langsung agar penyimpangan tak merambat lebih jauh. Hasil sidak ini pada gilirannya dapat berguna sebagai bahan masukan untuk merumuskan langkah-langkah pembinaan berikutnya bagi penghulu lainnya. Jika sidak ini dapat dilakukan di berbagai wilayah kota, maka tentu berguna sebagai semacam sampling terhadap kinerja penghulu secara umum. Mengenai pelaksanaan sidak, bisa dilakukan kapan saja atau disesuaikan dengan jadual kegiatan lainnya.
Salah satu peran penghulu yang sangat
dinantikan oleh masyarakat adalah kehadirannya sebagai representasi
pemerintah dhi. Menteri Agama, untuk mengawasi serta memenuhi aspek
legalitas pernikahan. Peran ini nyaris tak tergantikan oleh siapapun
sepanjang pejabat penghulu dimungkinkan hadir dalam
peristiwa penting tersebut. Melalui sudut pandang ini, sudah selayaknya
para penghulu mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat memenuhi
keterwakilan pemerintah yang memberi mandat kepadanya.
Agar segala sesuatunya berjalan dengan baik menurut kepatutan dan
kepantasan, serta benar menurut peraturan perundangan, diperlukan sebuah
standar pelayanan bagi para penghulu dalam melaksanakan tugas
pendaftaran, pemeriksaan, pengawasan, dan pencatatan pernikahan bagi
masyarakat. Standar pelayanan tersebut merupakan pedoman teknis yang
berlaku secara baku dan formal yang ditaati oleh seluruh penghulu.
Sebaiknya pedoman standar tersebut dibuat sedemikian rupa bersifat
ringkas, sederhana, urgen, dan baku, serta dikuasai sepenuhnya oleh
penghulu sehingga dapat mencegah “persaingan” tak sehat di antara
mereka.
Persoalan klasik yang paling sering
dihadapi oleh para penghulu adalah kebenaran jati diri calon mempelai,
khususnya menyangkut status perkawinan mereka sebelumnya, serta
kebenaran pengakuan sebagai wali nikah yang berhak. Meski para penghulu
dalam melakukan tugas pemeriksaan pada saat pendaftaran perkawinan
dibantu dengan instrumen data dari kelurahan/desa, pada kenyataannya
masih juga terjadi praktik pemalsuan identitas yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat. Kesalahan ini seharusnya dapat ditekan sekecil
mungkin jika data kependudukan yang selama ini dikuasai sepenuhnya oleh
Kemendagri dapat diakses juga oleh para penghulu. Dengan demikian,
seorang penghulu yang melihat adanya inkonsistensi atau ketidaksinkronan
antara data dan kenyataan yang dilihat dan didengarnya, dapat
melakukan cross check data kependudukan orang bersangkutan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dikaji lebih lanjut kemungkinan
kerja sama antara Kemenag dan Kemendagri dalam akses data kependudukan
ini.
Seyogyanyalah para penghulu
mendapatkan akses untuk mengetahui data kependudukan calon mempelai
beserta walinya meski diberikan secara terbatas kepada penghulu
demi memastikan dan menjamin bahwa keputusan menerima dan melaksanakan
permohonan perkawinannya adalah keputusan yang benar baik menurut agama
maupun peraturan perundangan.
Biasanya, masyarakat telah merancang prosesi pernikahan berikut pengaturan waktu yang ketat. Hal itu mereka lakukan agar rangkaian acara yang panjang dan melelahkan serta memakan waktu itu dapat terlaksana dengan lancar dan sesuaitime table. Harapan mereka proses pelaksanaan akad dan lain-lainnya dapat diselesaikan segera tanpa perlu bertele-tele. Masyarakat juga menghendaki selain kelancaran, pernikahan dapat berjalan dengan hidmat. Untuk menjamin hal itu, pihak penyelenggara telah mempersiapkan segala sesuatunya, antara lain, pelaku acara, urutan acara, sarana prasarana, dan lain-lain. Alhasil, sebenarnya tugas penghulu semakin efisien dan sepertinya tidak perlu berperan terlalu banyak. Namun, sebagai perwakilan pemerintah, dhi. Menteri Agama, masyarakat tetap mengharapkannya sebagai pemegang otoritas legalitas akad nikah. Tugas penghulu tetap sentral dalam seluruh rangkaian upacara akad nikah. Diperlukan keterampilan penghulu untuk memandu acara agar tidak keluar dari “apa yang seharusnya” terjadi.
Penghulu berperan sebagai “sutradara” yang akan mengarahkan acara hingga kepada hal-hal yang bersifat batiniah, misalnya membangun suasana agung akad nikah, membangun suasana hidmat acara pernikahan, membimbing mempelai untuk menata hati mereka, dan sebagainya. Semua itu dilakukan agar suasana dan nuansa religius dapat terbangun dengan sempurna melalui arahan penghulu yang melakukannya dengan penuh kesungguhan dan efisien.
Teknik pengawasan terhadap para penghulu yang paling efektif sebenarnya adalah dengan melibatkan masyarakat pengguna jasa pelayanan secara langsung. Penilaian dan kesan masyarakat akan citra dan kinerja penghulu selama ini menjadi outcome segala bentuk pengaturan tersebut. Selama ini, problematika pembinaan penghulu hampir selalu berdasarkan laporan dari mulut ke mulut. Beberapa di antaranya adalah soal waktu, biaya, perilaku, kapabilitas, dan layanan administrasi pernikahan. Laporan oral, betapapun pentingnya, selalu memiliki kelemahan, yaitu pada aspek pembuktiannya, sehingga sulit menjadi dasar penindakan. Ia mungkin berguna sebagai bahan investigasi yang, sayangnya, memakan banyak waktu dan biaya. Untuk mengatasi hal itu, perlu dirancang format baru untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat diberi satu formulir yang dapat mereka isi sebagai feed backatas pelayanan penghulu.
Formulir itu dibuat rangkap empat serta dapat dikirim via pos tanpa perangko keKUA Kecamatan, Kankemenag Kab/Kota, Kanwil Kemenag Provinsi, dan Ditjen Bimas Islam cq. Dir. Urais dan Binsyar. Keuntungan yang bakal diperoleh dari upaya ini adalah diterimanya laporan dari tangan pertama atas kinerja para penghulu. Selain itu, tentu upaya ini sangat bermanfaat sebagai bahan pembinaan pada tahap selanjutnya. Keuntungan lain, dengan terbukanya akses langsung bagi masyarakat, sedikit banyak menambah tingkat kepuasan mereka atas pelayanan yang diberikan oleh Kementerian Agama secara umum.
Dari berbagai laporan dan keluhan masyarakat, diperoleh kenyataan bahwa informasi pendaftaran dan pencatatan perkawinan belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Meskipun pencetakan dan pengiriman brosur, poster, dan sarana publikasi lainnya terus dilakukan, akan tetapi belum berhasil menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan wilayah yang luas. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jangkauan media yang digunakan dalam mempublikasikannya. Pemanfaatan media televisi yang tingkat sebarannya sangat luas, perlu dilakukan secara intensif dan dalam rentang waktu yang cukup. Karena menggunakan media televisi, program publikasi yang ditayangkan harus dapat bersaing dengan program-program lainnya agar inti pesan dapat sampai kepada khalayak serta diterima dengan baik. Pilihan talkshow atau bentuk ceramah mungkin efektif bagi kalangan yang telah terdidik atau telah memiliki kesadaran yang cukup.
Akan tetapi, untuk kalangan masyarakat “marjinal” metode tersebut kurang diminati. Kemenag perlu mencari metode lain yang sekiranya dapat diterima oleh sebagan besar lapisan masyarakat. Tren penyampaian pesan melalui sinetron dapat menjadi alternatif yang digemari yang menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat. Hanya saja, medium ini membutuhkan biaya besar. Solusinya adalah kerjasama dengan production house untuk membuat mini seri sinetron yang dibiayai bersama. Pembiayaan yang bersumber dari Kemenag bersifat bantuan, sedangkan dari pihak PH dapat menggunakan sponsorship.
Untuk melayani warga negara Indonesia di luar negeri serta memberi kemudahan mereka mendaftar dan melaksanakan pernikahannya, diperlukan pejabat Atase Agama. Agar dapat merealisasikan maksud tersebut, perlu melakukan kajian yang mendalam mengenai kemungkinan dan rasionalisasi kebutuhan antara negara asing, jumlah WNI, anggaran, serta ketersediaan petugas. Selebihnya adalah menyusun tugas pokok, fungsi, dan peran pejabat atase di bidang keagamaan. Menyadari bahwa jumlah peristiwa nikah berbanding lurus dengan jumlah WNI di satu negara, tentu volume dan beban tugas masing-masing atase agama tidak akan sama satu dengan lainnya. Demikian pula, belum dapat dipastikan bahwa pengangkatan seorang atase agama (hanya) untuk menangani pernikahan akan sepadan dengan anggaran yang dikeluarkan, mengingat akuntablitas menjadi tolok ukur kinerja pegawai pemerintahan.
Oleh sebab itu, tugas dan fungsi atase agama mesti diperluas tidak sekadar mengurusi pernikahan, tetapi juga menangani keperluan warga negara dan pemerintah Indonesia serta hal-hal lain di bidang agama yang berkaitan langsung dengan kepentingan negara. Salah satu contoh adalah mengenai perkembangan aliran keagamaan di dalam negeri yang memiliki akses dan jaringan di luar negeri. Untuk dapat mengetahui perkembangan jaringan ini dapat memanfaatkan atase agama. Mereka diminta mengamati, mencatat, serta mengirimkan data dan laporan analisanya ke Kementerian Agama RI. Untuk itu, seorang atase agama harus juga memiliki bekal kemampuan intelijen.
Pengembangan SIMKAH hingga saat ini masih harus terus ditingkatkan agar memenuhi standar pelayanan yang diharapkan. Akan tetapi, hal itu belum dapat terwujud disebabkan SIMKAH tidak berada di bawah pengelolaan Diturais dan Binsyar. Sebagai user sekaligus operator, sudah seharusnya Diturais dan Binsyar mengelola sendiri SIMKAH tersebut agar dapat disesuaikan dengan proyeksi kebutuhan berdasarkan rasio antara jumah penghulu dan jumlah peristiwa nikah.
Selain berada di tangan yang tepat (sebagai user) pengelolaan tersebut juga akan mempersingkat proses pengolahan data yang akan berujung kepada efisiensi pelayanan. Manfaat lainnya adalah Diturais dan Binsyar dapat secara langsung melaksanakan peningkatan pelayanan dan keterampilan para penghulu dalam pengoperasian sistem tersebut. Pada gilirannya nanti, SIMKAH yang saat ini masih membutuhkan pengembangan dapat tertangani secara langsung berdasarkan orientasi kebutuhan yang sesungguhnya. Kelemahan penguasaan teknologi informatika di kalangan penghulu ini dapat diatasi dengan penambahan frekuensi pelatihan penguasaan IT serta penambahan jaringan, sarana dan prasarana komputasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar